YARO STARAK BLUE PRINT

Yahoo bot last visit powered by  Bots Visit
Google bot last visit powered by Bots Visit
powered by PRBbutton
Personal Blogs - BlogCatalog Blog Directory
Blog Directory & Search engine
Kamis, 13 Mei 2010

penelitian tanaman gaharu (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa delapan jenis isolat yang diuji  cukup efektif dalam pembentukan gaharu, Hal ini dapat diketahui dari perubahan fisik yang terjadi pada jaringan batang yang ada di sekitar lubang inokulasi, yaitu adanya perubahan warna yang bervariasi dari coklat muda sampai coklat tua dengan panjang dan lebar area yang terinfeksi juga bervariasi. Selain itu dari uji aroma yang dilakukan dengan pembakaran didapatkan hasil bahwa beberapa isolat cukup potensial menghasilkan gaharu, hal ini dapat diketahui dari potongan kayu yang terinfeksi dari sejumlah isolat tersebut setelah dikeringkan secara alami dan dibakar mengeluarkan aroma wangi gaharu. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran pengaruh perlakuan jenis isolat terhadap variabel yang diamati,  didapatkan  hasil analisis varian (uji F) yang ditampilkan pada Tabel

image

Berdasarkan hasil anava diketahui bahwa semua perlakuan  memberikan hasil berbeda sangat  nyata terhadap variabel pengamatan kecuali pengukuran aroma. Selengkapnya hasil DMRT semua variabel yang berbeda sangat nyata disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan  Tabel 2 diketahui bahwa  dari delapan jenis isolat yang diuji didapatkan 4 isolat (Acremonium    sp, Cephalosporium  sp.), Cylindrocarpon sp. dan    Fusarium lateritium) memberikan pengaruh yang sama terhadap rata- rata ukuran diameter lubang inokulasi. Tetapi efektivitas keempat isolat tersebut berbeda nyata dengan empat isolat lainnya (F.fusariodes, F.solani, F.nivale dan F.roseum).

Keempat isolat yang disebutkan terakhir memberikan hasil yang sama satu sama lain terhadap efektivitasnya pada rata-rata ukuran diameter lubang inokulasi. Rata- panjang area infeksi terbesar dihasilkan oleh isolat    Cylindrocarpon (J1) sebesar 5.850 cm. Hasil ini berbeda sangat nyata dengan ketujuh isolat lainnya (Tabel 2). Tetapi enam isolat (F.solani, F. nivale, Acremonium sp.,    F. roseum, F.fusariodes dan Cephalosporium sp) memberikan hasil yang sama satu sama lain terhadap efektivitas pembentukan panjang area infeksi.

Isolat yang memberikan hasil rata-rata panjang area infeksi terkecil adalah    F.lateritium yaitu sebesar 2.340 mm, tetapi hasil ini tidak berbeda nyata dengan efektivitas isolat    F. roseum, F.fusariodes dan Cephalosporium sp.Isolat yang memberikan hasil pembentukan
merata.

lebar area infeksi terbesar adalah Cylindrocarpon sp., tetapi hasilnya tidak berbeda nyata dengan efektivitas isolat Fusarium nivale dan Fusarium solani (Tabel 2). Hasil ketiga isolat tersebut  berbeda nyata dengan kelima isolat lainnya. 

Diketahui juga bahwa efektivitas empat isolat (Acremonium    sp., Fusarium fusariodes, Fusarium  roseum,  dan Cephalosporium sp ) sama terhadap pembentukan rata-rata lebar area infeksi. Rata-rata lebar area infeksi terkecil dihasilkan isolat Fusarium lateritium.Isolat    Cylindrocarpon sp. menghasilkan rata-rata skor warna paling baik yaitu mendekati 2 (1.967), tetapi hasil ini tidak berbeda nyata dengan kelima isolat lainnya (Fusarium solani, Fusarium  roseum, Fusarium fusariodes, Fusarium nivale    dan Cephalosporium    sp.) (Tabel 2). Rata-rata skor warna terkecil dihasilkan isolat Fusarium lateritium , tetapi hasilnya sama dengan rata-rata skor warna yang dihasilkan
ketiga isolat yaitu Fusarium nivale, Cephalospo-rium sp. dan  Acremonium sp.

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran terhadap variabel yang diamati (diameter lubang inokulasi, panjang area infeksi, dan lebar area infeksi) selama 6 bulan di lapangan dan dilanjutkan dengan pengukuran dan pengamatan warna kayu gubal dan aroma kayu gubal yang terbentuk yang dilaksanakan di laboratorium selama 1 bulan karena membutuhkan pengeringan alami, didapatkan hasil secara keseluruhan kedelapan isolat yang diuji efekttivitasnya dalam menginduksi resin gaharu cukup efektif. Hal ini ditandai dari hasil yang didapatkan bahwa variabel yang diukur memberikan hasil yang baik dan signifikan, kecuali terhadap pengujian aroma.

Berdasarkan hasil analisis varian (anava) uji F, diketahui bahwa perlakuan jenis isolat berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan ukuran diameter lubang inokulasi. Hasil pengukuran ukuran diameter lubang inokulasi pada akhir pengamatan (bulan ke-6 setelah inokulasi), didapatkan hasil yang bervariasi, yaitu sejumlah isolat menghasilkan ukuran diameter lubang inokulasi yang bertambah besar dari ukuran awal pada waktu inokulasi ( 8 mm), sedangkan sejumlah isolat lainnya menyebabkan terjadinya penyembuhan pelukaan yaitu mengecilnya ukuran diameter lubang inokulasi (< 8 mm).

Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui bahwa isolat    Acremonium  sp. memberikan hasil pertambahan ukuran diameter lubang inokulasi yang terbesar dan  tidak berbeda nyata dengan Cephalosporium sp. (j8),     Cylindrocarpon sp. (j2) dan Fusarium lateritium  (j7). Hal ini dapat diartikan bahwa dengan kehadiran keempat isolat tersebut menyebabkan terjadinya pelapukan pada batang A.malaccensis, yaitu ditandainya dengan bertambahnya ukuran diameter lubang inokulasi.

Apabila dilihat dari hasil pengukuran, pertambahan ukuran diameter tersebut sangat kecil sekali yaitu kurang dari 1 mm, tetapi hal ini tetap menjadi perhatian karena data yang didapatkan berasal dari pengamatan yang dilakukan baru 6 bulan, diduga dengan bertambahnya waktu kemungkinan pertambahan  diameter lubang inokulasi dapat terjadi, sebaliknya, dari isolat     Fusarium fusariodes    (j5) memberikan hasil tidak terjadi pertambahan ukuran diameter lubang inokulasi (tetap)  karena menghasilkan rata-rata 8.067 mm, sedangkan ketiga isolat lainnya yaitu  Fusarium solani (j4), Fusarium nivale (j3)    dan Fusarium roseum    (j6)    memberikan hasil berupa berkurangnya ukuran diameter lubang inokulasi (kurang dari 8 mm). Hal ini dapat diartikan bahwa terjadinya penyembuhan luka pada lubang inokulasi.

Pengukuran terhadap panjang area yang terinfeksi yang menunjukkan terjadinya deposisi resin dilakukan pada akhir pengamatan bulan keenam setelah inokulasi. Berdasarkan hasil anava uji F diketahui bahwa perlakuan jenis isolat memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ukuran panjang area yang terinfeksi.

image

Isolat Cylindrocarpon sp. memberikan hasil
terbaik yaitu menghasilkan panjang area terinfeksi
paling besar yaitu 5.850 cm dan berbeda nyata
dengan ketujuh isolat lainnya.  Hal ini menunjukkan
bahwa dari delapan jenis isolat yang diuji
didapatkan hasil bahwa    Cylindrocarpon sp
memiliki efektivitas paling tinggi untuk menginfeksi
kayu A. malaccensis. Dengan lama pengamatan
baru 6 bulan dengan kemampuan menghasilkan
panjang area yang terinfeksi sebesar 5.850 cm
diduga dengan bertambahnya waktu pengamatan
setelah inokulasi maka panjang area yang
terinfeksi juga dimungkinkankan bertambah.
Isolat yang memberikan hasil rata-rata
panjang area yang terinfeksi paling kecil yaitu
Fusarium lateritium    (j7), tetapi hasilnya tidak
berbeda nyata dengan    Fusarium  roseum    (j6,)
Fusarium fusariodes  (J5)  dan Cephalosporium
sp (j8). Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas
keempat isolat tersebut menginfeksi pohon
A.malaccensis pada penelitian ini cukup rendah.
Pengukuran terhadap lebar  area yang
terinfeksi yang menunjukkan terjadinya deposisi
resin dilakukan pada akhir pengamatan bulan
keenam setelah inokulasi. Berdasarkan hasil anava
uji F diketahui bahwa perlakuan jenis isolat
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
ukuran lebar area yang terinfeksi.
Isolat Cylindrocarpon sp. memberikan hasil
terbaik yaitu menghasilkan rerata lebar area
terinfeksi paling besar yaitu 1.457 cm dan berbeda
nyata dengan ketujuh isolat lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dari delapan jenis isolat yang
diuji didapatkan hasil bahwa Cylindrocarpon sp
memiliki efektivitas paling tinggi untuk menginfeksi
kayu A. malaccensis. Dengan lama pengamatan
baru 6 bulan dengan kemampuan menghasilkan
lebar  area yang terinfeksi sebesar 1,457 cm
diduga dengan bertambahnya waktu pengamatan
setelah inokulasi maka lebar area yang terinfeksi
juga dimungkinkankan bertambah.
Efektivitas isolat Cylindrocarpon sp dalam
menghasilkan lebar area yang terinfeksi tidak
berbeda nyata dengan isolat Fusarium nivale (j3)
dan    Fusarium solani    (j4), sedangkan isolat
Fusarium lateritium    (j7) memiliki efektivitas
paling rendah karena menghasilkan rerata lebar
area infeksi paling kecil yaitu sebesar 1.020 cm.
Apabila dibandingkan antara hasil
pengukuran panjang area terinfeksi dengan lebar
area terinfeksi, diketahui bahwa pertumbuhan
deposit resin yang terbesar terjadi secara vertikal,
dimana panjang area terinfeksi lebih besar
dibanding lebar area terinfeksi. Hal ini sesuai
dengan pertumbuhan  ukuran dari struktur sel
jaringan kayu bahwa panjang sel jaringan kayu
678 µm dan lebar jaringan kayu 6-7 µm
(Departemen Kehutanan, 2004).
Isolat yang memiliki efektivitas paling tinggi
dalam menghasilkan panjang dan lebar area yang
terinfeksi pada penelitian ini adalah
Cylindrocarpon sp.    sedangkan    jamur
Acremonium sp. memiliki efektivitas sedang dalam
menginfeksi pohon A.malaccensis, hal ini dapat
dilihat dari rerata panjang dan lebar area terinfeksi
dan perubahan warna kayu yang dihasilkan tidak
terlalu baik.
Efektivitas isolat dalam menginfeksi pohon
inangnya bervariasi tergantung kepada kondisi
lingkungan tempat tumbuh pohon inang yang
sekaligus juga dipengaruhi oleh kesesuaian
lingkungan tumbuhnya isolat jamur tersebut.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan
melaporkan bahwa banyak jenis jamur yang
potensial sebagai penginduksi resin pohon gaharu,
tetapi keefektifannya ditentukan dengan
kesesuaian dengan tanaman inang dan
lingkungannya. Beberapa jenis jamur yang telah
berhasil diisolasi dari pohon gaharu asal Riau antara
lain    Fusarium, Trichoderma, Diplodia,
Scytalidium    dan    Thielaviopsis.    Dari pohon
gaharu asal Mataram jenis jamur Acremonium sp.,
sedangkan di Kalimantan Barat ditemukan jamur
Fusarium oxysporum, F. bulbigenium, F.
laseritium, Botryiodiplodia sp, dan Phytium sp.
(Ramadhani,    etal., 2005 : Ngatiman dan
Armansyah, 2005).
Direktorat Bina Perhutanan  Nasional (2005)
melaporkan bahwa cendawan yang berasosiasi
dengan kayu gaharu di beberapa negara bervariasi
misalnya    Cercosporella,    Chaetomum,
Cladosporium,    Curvularia,    Diplodia,
Pestalotia, Phialogeniculata, Pithomyces,
Rhizopus, Spiculostillela,    dan Trichoderma.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidiyasa
dan Suharti (1987)  dalam Basri (2005) didapatkan
adanya variasi berbagai jenis jamur seperti
Diplodia sp, Phytium sp. dan Fusarium solani
yang diduga mempunyai peranan penting dalam
pembentukan dammar gaharu. Tuswal    dalam
Beniwal (1989) melakukan penelitian terhadap
pohon    Aquilaria malaccensis di Assam
mendapatkan jenis  jamur Aspergillus, Penicillium
dan Fusarium. Dilaporkan juha bahwa penelitian
di India telah menemukan adanya jenis jamur lain
yang terdapat pada bagian yang berdamar gaharu
seperti    Torula cylindrocephalum,    Ganoderma
lucidium dan    Epicoccum granolosum.
Maryani  et al. (2005) melaporkan bahwa
salah satu mikroorganisme penginduksi gejala
terbentuknya    senyawa    gaharu    adalah
Acremonium spp. Di antara banyak isolat
Acremonium, isolat F dan M telah dibuktikan dapat
merangsang pembentukan wangi pada tunas in
vitro    A. malaccensis,    A. microcarpa dan
A.crassna dan Gyrinops versteghii. Kedua isolat
ini juga telah dibuktikan mampu menginduksi gejala
pembentukan gubal pada pohon muda.
Pengamatan perubahan warna kayu yang

terinfeksi dilakukan pada waktu 6 bulan sesudah
inokulasi, dilakukan dengan menyayat kulit batang
setebal 3 cm lebih hingga terlihat bagian jaringan
kayu yang telah terinfeksi dan mengalami
perubahan warna. Apabila dibandingkan dengan
jaringan kayu pada pohon yang sehat (tidak
terinfeksi), maka pada pohon yang sehat apabila
disayat jaringan kayunya berwarna putih kuning
muda dan berubah warna sesaat karena adanya
getah pohon dan oksidasi yang terjadi. Tetapi pada
pohon gaharu yang terinfeksi oleh jamur, jaringan
kayunya akan menunjukkan warna coklat muda,
coklat tua (gelap) dan bahkan kalau sudah sampai
ke tingkat infeksi lanjut akan menunjukkan warna
hitam atau kehitaman yang permanen.
Perubahan warna jaringan kayu terutama di
sekitar lubang inokulasi terjadi karena adanya
pelukaan dan infeksi jamur (inokulum). Hal ini
menyebabkan tanaman memproduksi metabolit
sekunder yang terakumulasi pada jaringan kayu.
Luka pada batang  akibat pengeboran dapat
merangsang sistem pertahanan tanaman dimana
pada akhirnya akan menyebabkan tanaman
memproduksi metabolit sekunder sejenis
sesquiterpenoid (Umboh, 2005). Metabolit
sekunder berupa resin secara genetik sudah
dikandung oleh beberapa jenis pohon penghasil
gaharu, tetapi aktivitas resin ini baru bisa dipacu
dengan adanya perlakuan eksternal yaitu pelukaan
dan adanya jamur patogen yang sesuai.
Adanya pelukaan (pengeboran) pada batang
pohon penghasil gaharu seperti pada    A.
malaccensis menyebabkan isolat jamur patogen
lebih mudah menginfeksi tanaman. Pada jenis
jamur yang memiliki tingkat virulensi tinggi seperti
Cylindrocarpon sp.  dapat mempengaruhi jumlah
akumulasi resin yang terdapat dalam jaringan kayu.
Hal ini juga didukung oleh kondisi pohon inang
A.malaccensis yang sehat, dimana tanaman dapat
merespon lebih cepat adanya infeksi jamur yang
menyebabkan tanaman dapat segera membentuk
metabolit sekuder sebagai sistem pertahanan dari
tanaman tersebut. Sebaliknya pada jenis jamur
yang memiliki virulensi rendah pada tanaman yang
rentan kemungkinan resin tidak akan terbentuk
ataupun kalau terbentuk sangat sedikit sekali.
Kayu yang diinfeksi oleh jamur patogen akan
menghasilkan warna lebih gelap, hal ini disebabkan
adanya oleoresin. Menurut Mogea et al. (2001)
batang A.malaccensis yang terinfeksi mengeluar-
kan senyawa oleoresin dari jenis sesquiterpene
yang menyebabkan jaringan kayu berwarna coklat
sampai hitam. Intensitas warna yang terjadi pada
jaringan kayu dipengaruhi jumlah resin yang
dikandungnya.Semakin banyak kandungan resin
gaharu yang terdeposit dalam jaringan kayu maka
akan semakin gelap pula warna kayu yang
ditimbulkannya dan semakin baik kualitasnya,
sehingga warna kayu gubal merupakan salah satu
dasar dalam menentukan kualitas gubal gaharu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor
warna yang ada pada jaringan kayu yang terbentuk
pada pohon uji memiliki rerata mencapai 2 (> 1),
hal ini menunjukkan warna coklat tua. Dengan
demikian kedelapan isolat yang diuji berpotensi
menginfeksi pohon    A.malaccensis, teatpi
efektivitasnya bervariasi. Isolat yang paling efektif
adalah    Cylindrocarpon    sp. dan yang memiliki
efektivitas rendah yaitu Fusarium lateritium.
Kualitas gaharu yang tinggi  dapat ditentukan
dari aromanya sebelum atau sesuah dibakar. Hasil
uji organoleptik yang dilakukan dengan delapan
responden, dimana tiga diantaranya adalah praktisi
gaharu yaitu telah mengenal aroma khas gaharu
dengan baik, selebihnya adalah mahasiswa dan
laboran yang terlibat dalam penelitian gaharu.
Berdasarkan hasil analisis varian (anava) uji
F, perlakuan jenis isolat memberikan pengaruh
tidak berbeda nyata terhadap pengukuran aroma.
Hal ini berarti delapan isolat yang diuji memiliki
efektivitas yang sama terhadap aroma yang
dihasilkan. Hasil rerata skor aroma yang didapat
berkisar 1-2  yaitu berarti tanpa dibakar belum
wangi, setelah dibakar wangi tetapi sangat lemah,
menyengat dan tanpa dibakar aroma wangi lemah
menyengat, setelah dibakar wangi kuat, sedikit
menyengat. Hasil ini menunjukkan bahwa delapan
isolat uji tersebut berpotensi untuk menginfeksi
gaharu tetapi efektivitasnya bervariasi.
Dengan hasil skor aroma yang didapat dan
dihubungkan dengan lama waktu penelitian yang
dilakukan selama 6 bulan setelah inokulasi, maka
diduga dengan bertambahnya waktu pengamatan
setelah waktu inokulasi maka aroma yang
dihasilkan nantinya dapat lebih wangi (mencapai
skor 3).
Aroma wangi yang dihasilkan dari kayu
pohon penghasil gaharu yang terinfeksi jamur
patogen tersebut terbentuk karena adanya
senyawa resin yang merupakan metabolit sekunder
yang dihasilkan tanaman akibat respon terinfeksi
jamur pathogen. Metabolit sekunder tersebut
banyak mengandung senyawa kimia. Ng et al.
(1977) dalam Sumadiwangsa (2002) menyatakan
bahwa    A. malaccensis mengandung aneka
senyawa kimia seperti : agarotetrol, isaagarotetrol,
hydroxyl chromone, methoxy chromone, dimetoxy
chromone, dihidroxy chromone. Sedangkan
senyawa yang menyebabkan aroma wangi pada
gaharu adalah senyawa guia dienal, selina-dienone
dan selina dienol.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari sejumlah
variabel pengukuran yaitu ukuran diameter lubang
inokulasi, panjang dan lebar area yang terinfeksi,
perubahan warna jaringan kayu dan uji
organoleptik penentuan aroma kayu yang
terinfeksi,    disimpulkan    bahwa    isolat
Cylindrocarpon sp. merupakan isolat yang paling
efektif menginfeksi pohon A.malaccensis karena
menghasilkan nilai dan skor terbaik terhadap
semua variabel uji.

2 komentar:

ANdi mengatakan...

mau nanya pak! diamana ada dijual indukan Fusarium, sp?

ANdi mengatakan...

mau nanya pa! diamana ada dijual indukan Jamur Fusarium, sp, dan brp harganya ? no.sy pak 081346261599

Posting Komentar

Posting yang berkaitan

TUKARAN LINK SILAHKAN COPY LINK DI BAWAH INI

Ą