Etika bisnis cina
Cina akan menguasai dunia. Itulah kata-kata yang saat ini sering terdengar atau terpampang pada media massa, karena kekuatan ekonomi yang dikembangkan oleh etnis Cina, telah menjadi kekuatan masa depan yang tidak dapat dipandang remeh. Namun, betapapun Cina telah memasuki abad modem, abad pasar bebas, filosofi serta referensi perilaku mereka masih tetap mengacu pada literatur-literatur klasik serta ajaran-ajaran para tokoh Cina kuno.
Strategi perang para Ksatria Cina sudah menjadi topik riset ahli ekonomi dan bisnis. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat etnis Cina memiliki peribahasa bahwa dunia bisnis adalah medan perang (Wee Chou Hou, 2001).
Di Indonesia, ketumnan etnis Cina adalah sebagai minoritas. Karena jumlahnya hanya sekitar 3,5% dari seluruhh total populasi penduduk di indonesia. Meskipun secara kuantitas minoritas, tetapi temyata mereka mengendalikan 73% perekonomian Indonesia (Fr.Wulandari, 2003). Hal ini dapat dilihat bahwa secara numerik memang tidak berarti banyak, namun peran ekonomis dan finansial yang secara konkret dijalankan oleh suatu komunitas sosial ini adalah penting. Sebagai contoh, pusat perdagangan dan bisnis paling penting di Yogyakarta seperti di Jalan Malioboro atau Jalan Solo jelas terlihat dominasi toko-toko milik keturunan etnis Cina. Demikian pula, halnya di kota-kota kecil dan menengah lainnya.
Dominasi etnis Cina dalam dunia bisnis tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi diseluruh penjuru dunia. Cina Perantauan (Overseas Chinese) mengalami kebangkitan bersama jaringan bisnisnya (yang dikenal sebagai Nan Yang lnc) diperkirakan akan menjadi motor utama kekuatan ekonomi Asia Pasifik abad ke-21. Bahkan sekarang ini, 90% atau senilai 1,138 triliun dollarAmerika dari kapitalisasi pasar 1.000 perusahaan terbesar di 10 bursa Asia Pasifik adalah milik jaringan Nan Yang Inc. Jaringan ini sebenarnya hanya berkiblat kepada peluang bisnis
dan kekuatan pasar yangmumi, tidak ikut dalam politik praktis, tetapi mereka memang menjadi kawanan tertentu (hopeng). Mereka sudah berkiblat kepada tanah air baru mereka, tetapi RRC memang cenderung ingin mengeksploitasi solidaritas etnis primordial untuk menarik investasi dari jaringan bisnis Cina Perantauan (Kompas Online, 5 Maret 2003). Selain itu, seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, di dalamnya digambarkan betapa perusahaan-perusahaan
tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81 % di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.
Di Indonesia jaringan bisnis Cina Perantauan (nonpribumi) juga berkembang pesat. Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), pada tahun 1994 total aset dari 300 konglomerat mencapai Rp271,887 hiliun, diperkirakan 78,3% atau senilai Rp212.832 triliun merupakan aset pengusaha nonpribumi (CIA = Cina, India, dan Arab). Sementara pengusaha pribumi menguasai aset sekitar 17,9% atau senilai 48,674 triliun, sisanya 3,8% merupakan usaha asimilasi. Yang unik, jaringan bisnis tersebut sebagian besar sudah menjadi dan membaur dengan masyarakat pribumi setempat. Sentimen etnis memang dapat saja bermunculan, tetapi pemicu utamanya lebih terletak pada kesenjangan sosial dan marginalisasi ekonomi kelompok yang semakin mengental pada era konglomerasi.
Keistimewaan perilaku ekonomi etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian, sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi hisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu, bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Demikian pula, di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar etnis Cina di Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contoh.nya Salim Group, Khong Guan, PT "Cap Orang Tua" perusahaan jamu "Jago", perusahaan jamu "Air Mancur", dan lain-lain. Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina, salah satunya adalah Liem Sioe Liong yang oleh John Naisbitt disebutkan memiliki kekayaan bersih $4,5 juta.
Liem Sioe Liong alias Soedono Salim pemilik Salim Group, merupakan salah satu sosok etnis Cina perantauan yang sukses mengadu untung di luar negara asalnya. Soedono Salim yang meninggalkan Cina Selatan di tahun 1930-an menuju Indonesia, melalui jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden I1 RI, yang dimasa lalu Liem Sioe Liong menyediakan dukungan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka saling bersahabat sampai Soeharto menggantikan Presiden Soekamo tahun 1965. Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas izin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group, hingga penjualannya meningkat drastis sampai $9 juta tahun 1994, yang di hitung sebagai 5% pendapatan kotor domestik Indonesia (Fr. Wulandari, 2003).
Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karenapengalaman yang mereka lalui. Sesama imigran etnis Cina di mana pun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan. Manfaat dari adanya hubungan jaringan kerja ini bagi mereka adalah: memaksimalkan "contactpoints " untuk (informasi) pekerjaan; menyebarluaskan berita termasuktukar menukar berita; dan memperkuat dukungan psikologis antar anggota. Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itn, hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antar etnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.
Kondisi di Indonesia,
keunggulan bisnis oleh etnis Cina seringkali menimbulkan kecemburuan yang berakibat timbulnya konflik dengan orang-orang pribumi. Hal ini senada dengan pendapat Wertheim yaitu pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial (dasar ikatan etnisitas, keluarga, ras dan
sebagainya), akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perilaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina(Kompas Online, 5 Maret 2003).
Dalam hubungan bisnis etnis Cina jugamemiliki beberapa pedoman etika dan perilaku bisnis, baik hubungan bisnis ke dalam maupun ke luar dalam sebuah perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Pada prinsipnya pedoman etika dan perilaku bisnis yang dimiliki etnis Cina tersebut memiliki persamaan dengan pedoman etika dan perilaku bisnis pada umumnya. Hal ini didasarkan pada tulisan Djoenaedi Joesoef, pimpinan perusahaan farmasi Konimex, yang mendasarkan pada pengalaman empiris sebagai praktisi bisnis mengatakan bahwa teori-teori yang diajukan akademisi sebagian ada benarnya dan sebagian lagi hanya mitos belaka. Yang disebutnya sebagai mitos antara lain adalah anggapan bahwa sukses etnis Cina di Indonesia karena ajaran-ajaran konfusianisme.
Djoenaedi menekankan bahwa ajaran tentang kebajikan dan etos kerja dimiliki semua bangsa. Aktualisasinya bisa berbeda, bergantung kualitas pribadi pelakunya. Praktik ekonomi nakal dan curang bukan pula monopoli etnis, melainkan bergantung pada kualitas mental seseorang (Gatra, 7 September 1996).
Untuk membaca kelanjutan dari artikel ini, sebaiknya anda download saja versi lengkapnya dalam file pdf klik saja link dibawah ini,
http://www.ziddu.com/download/21115058/Etikabisniscina.pdf.html
1 komentar:
nice info terimakasih sudah berbagi info yah
jsm alfamart
Posting Komentar